LOTUSYOUTHCOUNCIL.COM – Kesehatan reproduksi merupakan aspek penting dalam perkembangan remaja yang mencakup pemahaman tentang anatomi tubuh, fungsi organ reproduksi, proses pubertas, serta pentingnya menjaga kesehatan fisik dan mental dalam menghadapi perubahan tersebut. Dalam konteks Indonesia, pembicaraan mengenai kesehatan reproduksi sering kali masih dianggap tabu, terutama di lingkungan pendidikan berbasis agama seperti pondok pesantren.
Namun, perubahan zaman dan meningkatnya tantangan kesehatan remaja, seperti pernikahan dini, kehamilan tidak diinginkan, serta penyebaran penyakit menular seksual, menuntut adanya perhatian serius terhadap pendidikan kesehatan reproduksi, termasuk di lingkungan pesantren. Oleh karena itu, riset mengenai pengetahuan santri—anak-anak pondok pesantren—terhadap kesehatan reproduksi menjadi sangat penting untuk memahami sejauh mana mereka mendapatkan informasi yang tepat dan akurat.
Tujuan Riset
Tujuan utama riset ini adalah untuk:
- Mengukur tingkat pengetahuan santri tentang kesehatan reproduksi.
- Mengetahui sumber informasi yang mereka akses.
- Mengidentifikasi tantangan dan hambatan dalam penyampaian materi kesehatan reproduksi di pesantren.
- Memberikan rekomendasi untuk penguatan pendidikan kesehatan reproduksi di lingkungan pesantren.
Metodologi
Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif dengan melibatkan 200 santri dari lima pondok pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Teknik pengumpulan data mencakup kuesioner, wawancara mendalam, serta diskusi kelompok terfokus (focus group discussion/FGD). Responden terdiri dari santri usia 13–19 tahun, baik putra maupun putri.
Hasil Riset
1. Tingkat Pengetahuan
Sebagian besar santri (62%) memiliki pengetahuan dasar yang terbatas tentang kesehatan reproduksi. Mereka mengenali organ reproduksi dan perubahan fisik saat pubertas, namun minim pemahaman tentang aspek kesehatan seperti menstruasi yang sehat, mimpi basah, dan cara menjaga kebersihan organ intim.
Pengetahuan tentang penyakit menular seksual dan pencegahannya masih sangat rendah. Hanya 18% santri yang mengetahui tentang HIV/AIDS dan cara penularannya. Bahkan, ada miskonsepsi bahwa penyakit tersebut hanya menyerang orang “yang tidak bermoral”, mencerminkan kurangnya edukasi yang ilmiah dan netral.
2. Sumber Informasi
Mayoritas santri menyatakan bahwa mereka memperoleh informasi seputar kesehatan reproduksi dari teman sebaya (45%) dan media sosial (30%). Hanya 15% yang mengaku mendapatkan informasi dari ustaz atau ustazah, dan sisanya dari buku atau pelatihan luar.
Keterbatasan kurikulum formal dan kekhawatiran para pengasuh pesantren terhadap potensi “liberalisasi moral” menjadi alasan utama rendahnya pemberian informasi tentang kesehatan reproduksi secara langsung di pesantren.
3. Hambatan Utama
Tiga hambatan utama yang diidentifikasi adalah:
- Norma budaya dan agama: Banyak pengasuh dan pengajar merasa pembahasan mengenai reproduksi terlalu vulgar atau tidak sesuai dengan nilai-nilai pesantren.
- Kurangnya tenaga pendidik yang terlatih: Tidak semua ustaz/ustazah memiliki latar belakang pendidikan kesehatan.
- Minimnya bahan ajar yang sesuai: Bahan ajar yang tersedia kebanyakan menggunakan bahasa medis atau terlalu terbuka, sehingga tidak sesuai dengan karakteristik pesantren.
Analisis
Rendahnya tingkat pengetahuan santri bukan karena ketidaktertarikan mereka terhadap isu ini, melainkan lebih karena minimnya akses informasi yang tepat, relevan, dan bisa diterima dalam konteks budaya dan keagamaan mereka. Sebagian besar santri menunjukkan ketertarikan belajar lebih jauh tentang tubuh mereka dan bagaimana menjaganya, tetapi mereka tidak memiliki ruang yang aman untuk berdiskusi atau bertanya.
Di sisi lain, para pengasuh pesantren juga menyadari pentingnya isu ini, tetapi masih mencari pendekatan yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman yang mereka anut. Beberapa pesantren bahkan mulai membuka diri dengan menghadirkan narasumber dari Puskesmas atau lembaga kesehatan berbasis Islam untuk mengisi pelatihan.
Rekomendasi
Berdasarkan hasil riset, berikut beberapa rekomendasi:
- Pengembangan modul kesehatan reproduksi berbasis nilai Islam, dengan melibatkan ulama dan tenaga kesehatan agar bisa diterima oleh pengasuh dan santri.
- Pelatihan bagi ustaz dan ustazah sebagai fasilitator kesehatan reproduksi, agar mereka bisa menjadi sumber informasi yang terpercaya.
- Kerja sama dengan lembaga kesehatan, seperti Puskesmas atau NGO, untuk memberikan edukasi berkala di pesantren.
- Penyediaan media belajar yang ramah remaja, seperti buku saku, video pendek, atau aplikasi interaktif berbasis syariah.
Penutup
Kesehatan reproduksi adalah hak setiap remaja, termasuk santri di pondok pesantren. Meningkatkan literasi mereka dalam hal ini bukan hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga pada ketahanan moral dan sosial mereka di masa depan.